Suatu hari di penghujung 1995. Pagi itu saya tiba di Gedung Putra Kalimantan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, untuk keperluan wawancara penulisan skripsi. Sebelum bertemu nara sumber, saya menuju toilet gedung itu. Sebab, betapa tidak nyamannya mewawancarai seseorang dalam kondisi kantung kemih mendesak untuk dikosongkan.
Saat melepas risleting celana di depan jamban, seorang bapak berambut putih, bertubuh gemuk dan berpakaian rapi, masuk ke dalam toilet dan berdiri di samping saya. Agaknya dia juga punya urusan yang “mendesak”. Anehnya, melalui sudut mata saya merasa bapak ini terus-terusan melirik ke samping, ke arah saya. Jujur, ketika itu berbagai pikiran dan sangkaan berkecamuk.
Akhirnya, dengan memberanikan diri, saya pun menengok ke samping, menatap sang bapak. Bukannya...